Mukomuko, 26 Juli 2025 — Kasus pencurian kelapa sawit oleh seorang remaja di Desa Tanjung Jaya, Kecamatan Ipuh, Kabupaten Mukomuko, kembali menuai sorotan tajam publik. Bukan hanya karena tindakan pencurian itu sendiri, namun lebih karena sanksi sosial yang dijatuhkan oleh pemerintah desa yakni dengan mengarak pelaku keliling kampung lantaran tidak mampu membayar denda.
Perlakuan ini mengundang kritik dari berbagai kalangan, termasuk pemerhati hak asasi manusia dan tokoh-tokoh Islam, yang menilai bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, baik dari perspektif kemanusiaan maupun ajaran agama Islam.
Dari sudut pandang kemanusiaan, tindakan mengarak pelaku keliling desa dianggap melanggar martabat manusia. Perlakuan tersebut dinilai tidak menyentuh akar permasalahan, seperti faktor ekonomi atau lingkungan sosial yang mendorong anak tersebut melakukan pencurian.
“Menjatuhkan sanksi sosial seperti ini terhadap anak di bawah umur tanpa mempertimbangkan aspek psikologis dan latar belakang ekonomi merupakan bentuk penghukuman yang tidak manusiawi,” ujar salah satu aktivis perlindungan anak di Mukomuko.
Dalam perspektif Islam, perlakuan semacam ini juga dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama. Islam menekankan tiga prinsip utama dalam menangani pelaku kesalahan:
1. Keadilan (Adil)
Islam menuntut perlakuan yang adil bagi setiap individu, termasuk pelaku pelanggaran hukum.
2. Rahmah (Kasih Sayang)
Dalam Islam, rahmah menjadi landasan utama dalam memperlakukan orang yang melakukan kesalahan, apalagi jika pelaku masih tergolong anak-anak atau remaja.
3. Larangan Mempermalukan
Islam secara tegas melarang tindakan mempermalukan seseorang secara publik. Mengarak pelaku keliling kampung bukan hanya mempermalukan dirinya, tetapi juga keluarganya.
Seorang ustaz lokal menyampaikan, “Dalam Islam, tujuan hukuman adalah memberikan efek jera dengan tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Mempermalukan pelaku secara terbuka bisa menimbulkan trauma yang mendalam, bukan perbaikan akhlak.”
Para tokoh masyarakat dan pegiat sosial menyarankan pendekatan alternatif yang lebih adil dan manusiawi. Misalnya:
Pelayanan Masyarakat: Memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menjalani sanksi melalui kegiatan sosial atau kerja bakti di desa.
Pendampingan Psikososial: Melibatkan tenaga sosial dan psikolog untuk memahami latar belakang pelaku serta memberi pembinaan.
Solusi Ekonomi Keluarga: Menyentuh akar permasalahan, seperti kemiskinan dan tekanan ekonomi, agar tidak terjadi pengulangan kasus serupa.
Lebih jauh, tindakan pengadilan desa ini juga dinilai melanggar prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM). HAM bersifat:
Universal: Berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, termasuk anak-anak.
Inheren: Melekat pada setiap manusia sejak lahir.
Tidak Dapat Dipisahkan: Tidak boleh dicabut atau dikurangi oleh siapa pun, termasuk oleh lembaga informal.
Praktisi hukum Wilton Subing, SH, mengatakan, “HAM adalah dasar dari keadilan dan kesetaraan. Anak yang melakukan kesalahan tetap berhak diperlakukan dengan cara yang bermartabat. Negara dan aparat desa seharusnya menjadi pelindung, bukan pelaku pelanggaran HAM.”
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya pendekatan hukum dan sosial yang berkeadilan, berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, agama, dan hak asasi manusia. Dalam menangani kasus pelanggaran hukum oleh anak-anak, perlu ada upaya yang lebih mendalam dan penuh empati agar keadilan tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menyentuh nurani.(*)